Kamis, 25 Februari 2010

Perlindungan Hutan

Indonesia adalah negara kepulauan dan beriklim tropis. Negara ini cukup mendapar sinar matahari dan curahan hujan sepanjang tahun. Tanahnya luas, subur, berlembah, Berbukit, dan bergunung. Karena itu, tidak mengherankan di negara kita tubuh hutan yang sangat luas.

Hutan di indonesia tidak hanya luas tetapi juga berjenis-jenis. Beberapa di antara jenis itu adalah hutan alam, hutan produksi, hutan wisata, hutan suaka alam, dan hutan lindung. Hutan alam ialah hutan yang tumbuh dan terjadi secara alami, memiliki berbagai jenis pohon dengan usia tua dan muda. Hutan produksi ialah hutan yang dipersiapkan secara khusus untuk memproduksi kayu tertentu bagi pembangunan dab perdagangan. Hutan wisata ialah kawasan hutan yang dibina dan dipersiapkan secara khusus bagi pariwisata dan wisata baru. Hutan suaka alam ialah hutan yang dikhususkan bagi perlindungan binatang, pohon, dan alam hayati lainnya.hutan lindung ialah hutan yang keadan alamnya sedemikian rupa sehingga pengaruhnya baik terhadap tanah, alam sekitarnya, dan tata air.

Hutan lindung mempunyai berbagai fungsi. Hutan lindung berfungsi sebagai penampung air di musim hujan. Air kemudian dilepas sedikit demi sedikit sehingga terbentuki mata air. Hutan lidung berfungsi sebagia sumber air. Hutan lindung turut menentukan suhu udara di daerah sekitarnya. Hutan lindung berfungsi pengatur suhu. Hutan lindung yang terpelihara baik akan mempercantik daerah sekitarnya. Ini disebut fungsi Estetis. Hutan lindung menjadi tempat berkembang biak satwa-satwa tertentu. Fungsi lain dari hutan lindung adalah sebagai daerah pertahanan dan keamanan.
Daerah-daerah kritis sangat memerlukan hutan lindung. Lahan kritis yang memerlukan hutan lindung di indonesia banyak sekali. Untuk sekadar contoh, berikut ini ditunjukkan beberpa diantaranya. Waduk jatiluhur memerlukan hutan lindung di bagian hulu sungai citarum sebagai penahan banjir, pencegah erosi, dan sumber mata air. Daerah Jakarta dan sekitarnya memerlukan hutan lindung di puncak. Danau toba memerlukan hutan lindung di sekitarnya sebagai sumber air, pencegah erosi, dan banjir. Bale Endah, Bandung Selatan, sering kebanjiran karena hutan-hutan daerah aliran sungai (DAS) Citarus gundul, ini berarti Bale Endah memerlukan hutan lindung di bagian utara, sekitar Dago Lembang. Contoh ini dapat diperbanyak dengan daerah lain di indonesia yang lahannya dalam keadan kritis,
Berdasarkan proses terbentuknya hutan lindung yang sudah ada, hutan lindung itu terbagi atas 2 jenis.
1. Hutan lindung yang berasal dari hutan yang sudah ada. Suatu hutan yang sudah ada karena
perananya dianggap sangat penting diubah statusnya menjadi hutan lindung. Hutan lindung
jenis ini mempunyai pohon yang besar dan tua.
2. Lahan kritis atau bekas hutan yang sudah rusak dihijaukan kembali sehingga
Jenis hutan lindung seperti ini memiliki pohon-pohon yang masih kecil dan muda.
Beberapa besar manfaat hutan lindung harus disadari oleh setiap orang. Hutan lindung harus dijaga, dilindungi, dan dilestarikan. Tugas melestarikan hutan lindung ini dilakuakn oleh pemerintah bersama masyarakat. Pemerintah melalui petugas kehutanan dan petuga kantor kepandudukan dan lingkungan hidup menjaga hutan lindung dari penebangan liar, pencurian kayu, dan perburuan liar. Mereka bersama masyarakat lainnya memberikab penyuluhan kepada masyarakat. Semua pihak ikut serta menjaga, melindungi dam melestarikan hutan lindung.
HUTAN UNTUK KESEJAHTERAAN

Hutan sebagai sumber kekayaan alam yang penting perlu dikelola dengan sebaik-baiknya agar memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat dengan tetap menjaga kelangsungan fungsi dan kemampuannya dalam melestarikan lingkungan hidup.

Dalam hubungan ini tetap diperlukan peranan hutan sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja bagi penduduk sekitarnya. Hal ini akan lebih meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat untuk membina kelestarian alam. Selanjutnya perlu lebih ditingkatkan produksi hutan terutama untuk memenuhi kebutuhan industri dan energi melalui peningkatan pengusahaan hutan produksi, penyempurnaan tata guna hutan tropis serta pemanfaatan hasil hutan. Usaha perlindungan, penertiban dan pengamanan hutan, penanaman kembali, konversi sebagian hutan alam menjadi hutan buatan, penyuluhan serta pengembangan sistem pemasaran perlu dilanjutkan dan ditingkatkan.

Kita merasa bersyukur bahwa Tuhan Yang Maha Pemurah menganugerahkan kita kekayaan alam yang melimpah. Kita dianugerahi ribuan pulau dan lautan yang luas serta selat-selat dengan sumber daya alam yang lengkap dan berharga, seperti sumber daya alam tadi, kita manfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Dalam melaksanakan pembangunan, kita harus menghindari cara-cara pembangunan yang menghasilkan kemajuan material tetapi mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kita harus mengembangkan pembangunan yang sekaligus melestarikan fungsi lingkungan hidup. Dengan melaksanakan pembangunan yang demikian, maka kemiskinan rakyat dapat kita atasi bersama dengan usaha meningkatkan kualitas hidup rakyat.Lebih dari itu, dengan melaksanakan pembangunan yang demikian, kita juga dapat terus membangun buar selama-lamanya karena sumber daya alam kita miliki tetap lestari.

Dalam rangka usaha kita untuk melaksanakan pembangunan yang demikian tadi, pembangunan di bidang kehutanan menduduki tempat yang sangat strategis. Sebab di satu pihak, hutan merupakan potensi yang sangat besar untuk mendukung pembangunan; dan di lain pihak, hutan mempunyai fungsi yang sangat vital bagi kehidupan kita. Dengan memanfaatkan hasil hutan, tidak sedikit lapangan kerja yang dapat kita buka dan tidak sedikit pula devisa yang dapat kita hasilkan.

Namun, hutan yang rusak jelas tidak akan mampu lagi menjalankan berbagai fungsi yang sangat vital bagi kehidupan kita tadi. Rusaknya hutan akan mengakibatkan bertambah luasnya tanah gundul, tandus dan tidak produktip. Di samping itu, hutan yang rusak mengakibatkan cepatnya kedangkalan sungai sehingga menimbulkan ancaman banjir di musim hujan dan ancaman kekeringan di musim kemarau. Karena itu, dalam memanfaatkan hutan bagi pembangunan kita harus berusaha untuk memelihara kelestariannya.

Perlindungan Hutan

Hutan-hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, keberadaannya perlu dilestarikan. Oleh karena itu, sebagai usaha konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Perlindungan hutan dan pelestariannya diarahkan untuk memberikan perlindungan terhadap proses ekologi yang dapat menunjang dan memelihara sistem penyangga kehidupan umat manusia.Hal itu merupakan tanggung jawab bersama dalam menjaga keberadaan dn menjamin pemanfaatan dan kelestarian plasma nutfah keanekaragaman sumber daya alam beserta ekosistemnya, dari kemungkinan terjadinya penurunan kuantitas maupun kualitasnya dan dalam pengendalian semua bentuk gangguan,ancaman, hambatan , dan tantangan terhadap kelestarian sumber daya hutan.

Upaya pemeliharaan, pengamanan, perlindungan, dan pengawetansumber daya alam, baik yang berada di dalam maupun di luar kawasan hutan, dilakukan antara lain melalui pembinaan hutan lindung dan suaka alam, pembangunan hutan wisata, taman hutan raya dan taman nasional, rehabilitasi flora dan fauna, pemantauan dmpak lingkungan, pembinaan cinta alam, serta kegiatan pengamanan dan perlindungan hutan.

Sementara itu untuk mendukung industri pariwisata, pembangunan dan pengusahan hutan wisata lebih ditingkatkan melalui peran serta sektor swasta yang prioritas kegiatannya lebih ditekankan kepada pengembangan taman wisata dan taman baru yang potensial. Hal ini selaras dengan kenaikan permintaan terhadap jasa rekreasi hutan wisata dan taman baru, terutama di daerah sekitar batasan kota.

Reboisasi dan Penghijauan

Menyadari pentingnya fungsi hutan bagi kehidupan umat manusia di dunia perlu dilakukan pengendalian dan pencegahan kerusakan, pemulihan kembali fungsi hutan dengan melakukan reboisasi[penanaman kembali] dan penghijauan bagi lahan-lahan kritis.

Di dalam rangka meningkatkan daya dukung lahan yang lebih optimal, maka upaya untuk merehabilitasi lahan kritis dan meningkatkan konservasi tanah lehi diperhatikan di masa mendatang. Hal tersebut dilaksanakan antara lain melaluji penghijauan dan reboisasi lahan kritis, yang menitikberatkan pada upaya pengembangan dan peningkatan pengendalian banjir dan erosi dalam DAS prioritas.

Dampak Pembalakan yang Minimal
(Reduced Impact Logging)


Praktek pembalakan secara konvensional biasanya menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem hutan. Penggunaan alat-alat berat berakibat pada proses pemadatan tanah dan rusaknya vegetasi sementara pemanenan besar-besaran akan menyebabkan erosi, berkurangnya keanekaragaman jenis dan kapasitas perkembang-biakan. Sedangkan kelebihan sampah organik yang dihasilkan mengakibatkan hutan semakin rentan terhadap bahaya kebakaran.

Sejak awal, penilaian dampak lingkungan reduced-impact logging (RIL) atau pembalakan berdampak minimal ini merupakan prioritas penelitian CIFOR. Sebagai bagian dari program keseluruhan Sustainable Forest Management (SFM) atau Pengelolaan Hutan Lestari, maka CIFOR mengadakan jalinan kerjasama kajian RIL dengan Malaysia, Brazil, Indonesia, Kamerun, Bolivia, Tanzania dan Zambia. Hasil penelitian diharapkan dapat membantu dalam mengembangan pedoman dan alat (perangkat lunak) untuk pengelolaan produksi kayu dengan dampak ekologi seminimal mungkin. Oleh karena penerapan metoda RIL ini memerlukan dukungan penuh baik dari pihak pemerintah maupun swasta, maka CIFOR mengadakan kerjasama dengan kedua pihak tersebut dalam melakukan kegiatan ini.

Hasil penelitian CIFOR maupun lainnya menunjukkan bahwa kerusakan dapat dikurangi dengan menerapkan teknik pemanenan yang "site-sensitive" (sesuai kondisi lokasi). Diantara temuan tersebut menunjukkan bahwa metoda RIL berhasil mengurangi dampak terhadap kerusakan tanah sebanyak 25%, dan selanjutnya diperoleh sekitar 50% simpanan dalam bentuk "gudang karbon" yang dihasilkan dari tegakan sisa. Dari beberapa percobaan menggunakan RIL di hutan tropika dataran rendah, terlihat bahwa besarnya kerusakan pada tanah serta permudaan tingkat lanjut berkurang kira-kira 50% dibandingkan dengan pembalakan konvensional.

Temuan yang sangat mendukung ini mendorong Lembaga International Kayu Tropis atau International Tropical Timber Organization (ITTO) untuk mulai menerapkan RIL secara menyeluruh pada tahun 2000. Baru-baru ini Food and Agriculture Organization (FAO) dari United Nations (UN) mempublikasikan Model Praktek Pengelolaan Hutan atau Model Code of Forest Harvesting Practices, dan disusul oleh lembaga lainnya yang juga menerbitkan pedoman yang sama. Pedoman seperti ini biasanya hanya memuat dasar-dasar umum tentang praktek RIL sehingga pengguna harus menterjemahkannya sesuai dengan kondisi lokasi yang bersangkutan (site-specific).

Kajian RIL ini merupakan fokus utama penelitian yang dilakukan di Wanariset Bulungan, Kalimantan Timur, Indonesia. Tujuan utama dari kegiatan tersebut yaitu untuk membantu pengembangan insentif kebijakan dalam mempromosikan penerapan RIL oleh para pengusaha kayu.

Di banyak negara industri, teknik RIL sudah digunakan dalam kegiatan pemanenan kayu selama beberapa dasawarsa ini. Meskipun demikian, praktek ini belum banyak diterapkan di hutan tropika. Dalam makalahnya yang berjudul "Mengapa negara tropis masih menerapkan praktek pembalakan yang kurang baik?" ("Why Poor Logging Practices Persist in the Tropic?"), Dr. Jack Putz dan Dennis Dykstra dari CIFOR menyoroti beberapa alasan umum yang diberikan oleh para penebang komersial jika ditanyakan tentang penyebab tidak diterapkannya praktek pemanenan yang telah diperbaiki tersebut. Di dalam tulisan ini, penulis berupaya untuk menangkal persepsi yang dilontarkan itu dan berusaha memaparkan bukti-bukti manfaat penerapan RIL.

Sisi ekonomi penerapan RIL juga menjadi sorotan utama penelitian CIFOR yang berlangsung sejak tahun 1996 di dua lokasi di Brazil: Tapajos National Forest, dekat Dantarem, dan Curua Una, sebuah hutan percobaan di hulu sungai Santarem. Dalam sebuah kegiatan penelitiannya yang baru di Brazil, ilmuwan CIFOR yang berada di Belem bekerjasama dengan EMBRAPA menyelenggarakan sebuah workshop yang diadakan pada bulan Desember untuk mendiskusikan pedoman percobaan lapangan RIL di kawasan hutan produksi di bagian timur Amazon. Kegiatan ini merupakan bagian dari proyek kerjasama dalam rangka mengembangkan rencana pengelolaan yang berkelanjutan di kawasan tersebut.

Sementara itu, di Tanzania dan Zambia, CIFOR ikut berperan serta dalam dua buah koordinasi kegiatan penelitian lapangan RIL untuk program jangka panjang yang dibiayai oleh European Union (EU), dengan tujuan untuk mencapai pengelolaan Hutan-Kayu Miombo secara lestari di kawasan timur, tengah dan selatan Africa. Hutan kayu ini secara ekologis sangat penting dan saat ini kondisi keberadaannya terancam.

KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI


Saat ini, banyaknya kekhawatiran yang timbul terhadap hilangnya hutan tropis berasal dari meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan sebagai gudang keanekaragaman hayati. Akan tetapi pengetahuan tentang keadaan/status dan luasan keanekaragaman hayati yang hilang akibat gangguan hutan masih sangat terbatas.

Penelitian CIFOR di bidang tersebut mencakup kajian diantaranya yaitu, penentuan dampak akibat adanya gangguan seperti kegiatan pembalakan, pemanenan hasil hutan non-kayu dan fragmentasi hutan di dalam kawan konservasi keanekaragaman hayati "in situ". Kegiatan ini bertujuan agar data yang diperoleh dari lokasi studi yang terwakili secara ecoregional dapat digeneralisasikan sehingga dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji model proses dan spasial.

Dalam sebuah proyek berskala luas, peneliti dari India, Thailand dan Indonesia melakukan kegiatan penelitian dengan bantuan CIFOR dan International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh kegiatan manusia terhadap sumberdaya genetik hutan. Kegiatan yang mencakup berbagai bidang ilmu ini terdiri dari kajian terhadap komponen sumberdaya genetik, ekologi reproduksi jenis yang diteliti dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar lokasi hutan penelitian.

Di Malayasia, contohnya, meskipun berdasarkan temuan dinyatakan bahwa pembalakan terbukti berpengaruh pada semua jenis yang diteliti, tetapi hilangnya keanekaragaman hayati genetik tidak lebih dari 24 persen. Demikian pula hasil kajian dampak pemanenan kayu untuk keperluan papan dan bahan bakar di Thailand yang menunjukkan perbedaan nyata hanya jika pemanenan dilakukan dengan intensitas yang sangat tinggi. Sementara itu hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa setelah pembalakan terjadi peningkatan yang nyata terhadap inbreeding jenis-jenis yang diteliti -hasil selanjutnya akan diselidiki lebih jauh pada jenis-jenis Dipterocarpaceae.

Pada tahun 1998, dengan masuknya seorang pakar dari Danish International Development Agency yaitu Dr. John Poulsen, CIFOR meluncurkan suatu gagasan baru dengan proyek yang dilaksanakan di Western Ghats, India. Penelitian yang memerlukan wawancara ekstensif terhadap masyarakat suku setempat dan non-suku ini, berupaya mengevaluasi dampak skala-bentang alam pemanenan hasil hutan non-kayu baik berupa flora dan fauna, termasuk burung, kupu-kupu, mamalia kecil, pohon dan tumbuhan bukan pohon.

Kegiatan lainnya yang merupakan bagian dari proyek tersebut di India menyebutkan bahwa keluarga miskin sangat tergantung pada kegiatan pengumpulan hasil hutan non-kayu. Dengan banyaknya hasil hutan non-kayu yang masuk ke pasar maka pemanenan cenderung dilakukan tanpa menghiraukan aspek kelestarian, demikian pula yang terjadi ditengah masyarakat asli yang secara tradisional penghidupannya tergantung dari produk tersebut. Akibatnya, permudaan beberapa jenis tumbuhan penting hampir tidak nampak di beberapa kawasan, sehingga hal ini mengancam menurunnya keanekaragaman genetik jenis-jenis yang bersangkutan.

Di Kalimantan Tengah, para peneliti CIFOR juga melakukan kajian tentang dampak kegiatan pembalakan terhadap keanekaragaman struktur vegetasi, burung, dan mamalia kecil (tikus). Hasil sementara kajian yang membandingkan kondisi burung di lokasi bekas tebangan dan yang tidak ditebang menunjukkan bahwa pembalakan dengan sistem tebang pilih berdampak kurang nyata pada keanekaragaman dan jumlah jenisnya. Hal ini dipengaruhi diantara oleh rendahnya intensitas pembalakan. Dilain pihak kegiatan pembalakan dan faktor bentang alam (posisi topografi dan tingkat kebasahan) berpengaruh negatif terhadap pola struktur komunitas, komposisi jenis serta kelimpahan relatifnya.

Sementara itu data dasar keanekaragaman hayati yang diperoleh dari survey terpadu di Indonesia, Thailand dan daerah cekungan (basin) Western Amazon dan Kamerun memberikan suatu gambaran lebih jauh tentang reaksi penjerapan karbon dan keanekaragaman hayati yang terjadi pada berbagai tingkat intentitas pemanfaatan lahan. Hal baru lainnya adalah ditemukannya suatu indikator umum dari pola reaksi tersebut diatas yang dapat diketahui dengan menggunakan Plant Functional Types (PFTs), yang dapat menggambarkan adaptasi tumbuhan terhadap perubahan fisik lingkungan. Kajian berbagai disiplin ilmu terkait yang dilakukan di dataran rendah Sumatra, Indonesia, berhasil membuktikan adanya hubungan yang sangat potensial dan bermanfaat antara struktur vegetasi, kelompok kunci jenis flora dan fauna, PTFs dan ketersediaan unsur hara tanah.

Terakhir, di Afrika, peneliti CIFOR bersama dengan mitra kerjanya mempelajari dampak fragmentasi terhadap keanekaragaman genetik. Kajian ini dilakukan di sebuah kawasan yang terdiri dari 22 fragment riverine sebuah bentang alam yang dibuka untuk areal utama peternakan. Penelitian ini dirancang untuk menentukan apakah fragmentasi ini berdampak merugikan bagi mekanisme kerja serangga penyerbuk serta akibat-akibat yang mungkin timbul terhadap keanekaragaman genetik empat jenis pohon penting.